Selasa, 22 Desember 2009

Kebermaknaan Hidup "Viktor Emil Frankl (1905 - 1997)"

Biografi Viktor Emil Frankl (1905 - 1997)

Viktor E. Frankl dilahirkan pada 26 Maret 1905 di Wina, Austria. Minat Frankl terhadap psikologi muncul sejak ia masih muda. Untuk ujian akhir (Matura) di SMA ia menulis sebuah makalah tentang psikologi pemikiran filsafat. Setelah lulus dari SMA pada tahun 1923, ia belajar kedokteran di Universitas Wina dan kemudian mengambil spesialisasi dalam neurologi dan psikiatri. Dari tahun 1933 hingga tahun 1937, ia memimpin apa yang dinamakan "Selbstmörderpavillon" (pavilyun bunuh diri) di Rumah Sakit Umum di Wina dan dari tahun 1937 hingga tahun 1940, ia melakukan praktik pribadi dalam psikiatri. Dari tahun 1940 hingga tahun 1942, ia memimpin departemen neurology dari Rumah Sakit Rothschild. Pada saat itu, rumah sakit ini adalah satu-satunya yang masih tersisa di Wina yang diizinkan menerima pasien Yahudi.

Pada Desember 1941 ia menikah dengan Tilly Grosser. Pada musim gugur tahun 1943, ia dan keluarga dideportasi ke kamp konsentrasi di Theresienstadt. Pada tahun 1944 ia dipindahkan ke Auschwitz dan belakangan ke Kaufering dan Türkheim, dua kamp konsentrasi yang berdekatan dengan KZ Dachau. Ia dibebaskan pada 27 April 1945 oleh Tentara AS. Frankl selamat dari Holocaust, tetapi istrinya serta kedua orangtuanya dibunuh di kamp konsentrasi. Di antara saudara-saudara dekatnya, hanya saudara perempuannya yang telah bermigrasi ke Australia, yang selamat. Karena penderitaannya ini (dan penderitaan banyak orang lainnya) di kamp-kamp konsentrasi, ia tiba pada kesimpulan bahwa “bahkan dalam situasi yang paling absurd, menyiksa dan mendehumanisasikan, kehidupan dapat bermakna dan bahkan penderitaan pun bermakna”. Kesimpulannya ini kelak menjadi dasar yang kuat bagi pemikiran psikiatri yang dikembangkan oleh Frankl, logoterapi.

Frankl dibebaskan setelah tiga tahun mendekam di kamp konsentrasi, lalu ia kembali ke Wina. Pada tahun 1945 ia menulis bukunya yang terkenal di seluruh dunia yang berjudul "Ein Psychologe erlebt das Konzentrationslager" (terjemahan harafiahnya "Seorang Psikolog Mengalami Kamp Konsentrasi". Terjemahan bahasa Inggrisnya Man's Search for Meaning atau “Manusia mencari Makna”). Dalam buku ini ia berusaha secara obyektif menggambarkan kehidupan seorang tahanan biasa di kamp konsentrasi dari perspektif seorang psikiater. Pada tahun 1946 ia ditunjuk untuk mengelola Poliklinik neurology Wina, dan ia bekerja di situ hingga tahun 1971.

Pada tahun-tahun setelah perang, Frankl menerbitkan lebih dari 30 buah buku dan menjadi terkenal terutama sebagai pendiri logoterapi. (Logos dalam bahasa Yunani berarti "kata", "nalar", "prinsip"; dan terapi dari bahasa Yunani berarti "aku menyembuhkan".) Ia memberikan kuliah dan seminar-seminar di seluruh dunia serta memperoleh 29 gelar doktor kehormatan. Frankl meninggal dunia pada 2 September 1997 di Wina, Australia.

Kebermakanaan Hidup “Logoterapi”

Viktor E. Frankl adalah seorang neuro-psikiater kelahiran Wina, Austria yang berhasil selamat keluar dari kamp konsentrasi maut Nazi pada Perang Dunia II melalui usahanya untuk tetap mempertahankan dan mengembangkan hidup bermakna (the will to meaning). Ternyata harapan untuk hidup bermakna dapat dikembangkan dalam berbagai kondisi, baik dalam keadaan normal maupun dalam penderitaan (suffering), misalnya dalam kondisi sakit (pain), salah (guilt), dan bahkan menjelang kematian sekalipun. Ia mempelopori suatu model psikoterapi yang disebut “Logoterapi”. Logoterapi sering dimasukkan pada Existential Psychiatry dan Humanistic Psychology, karena dianggap sebagai aliran psikologi yang telah mapan setelah Psikoanalisa Sigmund Freud, Psikologi Individual Alfred Adler, yang tumbuh dan berkembang di kota Wina juga.

Frankl memberikan nama dari hasil pemikirannya dengan nama Logoterapi. Logoterapi diambil dari kata logos yang telah diadopsi dari bahasa Yunani berarti “makna” (meaning) dan juga “ruhani” (spirituality). Logoterapi ditopang oleh filsafat hidup dan insight mengenai manusia yang mengakui adanya dimensi spiritual, selain dimensi somatis, dimensi psikologis dan dimensi sosial pada eksistensi manusia, serta menekankan pada makna hidup dan kehendak untuk hidup bermakna sebagai potensi manusia. Dalam logoterapi dimasukkan pula kemampuan khas manusia, yaitu self-detachment dan self-trancendence yang keduanya menggambarkan adanya kebebasan dan rasa tanggung jawab. Karakteristik eksistensi manusia menurut logoterapi adalah keruhanian (spirituality), kebebasan (freedom), dan tanggung jawab (responsibility).

Setiap sistem dan metode psikoterapi pada dasarnya berlandaskan pada filsafat manusia yang khas. Sebagai contoh psikoanalisa dan behaviorisme, mazhab psikologi yang paling berpengaruh di Amerika sampai sekarang sangat kental dipengaruhi oleh filsafat yang positivistik tentang manusia. Psikoanalisa dan Behaviorisme melihat perilaku manusia digerakkan oleh situasi yang deterministik. Misalnya saja tentang gejala neurosis. Psikoanalisa selalu menghubungkan gejala neurosis dengan mencari penyebabnya pada permasalahan masa lalu yang belum terselesaikan dan pelepasan hasrat terpendam (sublimasi) adalah cara mengatasinya. Sedang dalam behaviorisme, gejala neuriosis dicari pendasarannya pada mekanisme salah belajar dalam menerima respon eksternal pada individu dan cara mengatasinya melalui modifikasi perilaku yang dikontrol melalui mekanisme stimulus-respon, reward-punishment, dan metode conditioning lainnya.

Setiap model psikoterapi yang berusaha mengembalikan kebebasan manusia sebagai sesuatu yang kodrati pastilah akan bersinggungan dengan dua mazhab besar diatas. Begitu juga Logoterapi, Frankl berusaha mengembalikan kebebasan sebagai sesuatu yang berharga bagi manusia. Filsafat manusia yang mendasari Logoterapi adalah semangat untuk hidup autentik guna mencapai kebebasan melalui upaya untuk hidup bermakna.

Filsafat Manusia Logoterapi

Filsafat Logoterapi lahir dari kondisi yang suram dan tiada penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Suasana Perang Dunia II benar-benar telah mencampakkan harga diri kemanusiaan sampai ke dasar terendahnya. Manusia tidak lagi dihargai sebagai komunitas yang dapat mengambil keputusannnya sendiri. Institusi negara dan ideologi-ideologi totaliter telah merontokkan martabat manusia. Kita bisa melihat karya para filsuf eksistensialis yang sezaman dengan Frankl, seperti Albert Camus dan Jean Paul Sartre yang frustasi akan masa depan umat manusia. Mereka melihat kehidupan ini sebagai sesuatu yang ambigu dan dipenuhi dengan absurditas.

Tetapi dalam kondisi yang seperti itu Frankl tidak ingin terjebak dalam absurditas dunia. Dia berusaha melampauinya melalui filsafat hidup Logoterapi. Filsafat Logoterapi mensiratkan sebuah harapan besar tentang masa depan kehidupan manusia yang lebih berharga dan bermakna. Teori tentang kodrat manusia dalam Logoterapi dibangun diatas tiga asumsi dasar, dimana antara yang satu dengan yang lainnya saling menopang, yakni:

1. The freedom to will (kebebasan bersikap dan berkehendak)

Tentang “Kebebasan berkehendak” pada dasarnya merupakan antitesa terhadap pandangan mengenai manusia yang sifatnya deterministik, sebagaimana filsafat yang mendasari pandangan Psikoanalisa dan Behaviorisme. Frankl sendiri menyebut pandangan yang berbahaya tersebut sebagai “pan-determinisme”. Pan-determinisme menurut Frankl adalah: “….pandangan seseorang yang tidak menghargai kemampuannya untuk mengambil sikap untuk mencapai kondisi yang diinginkannya. Manusia tidak sepenuhnya dikondisikan dan ditentukan oleh lingkungannya, namun dirinyalah yang lebih menetukan apa yang akan dilakukan terhadap berbagai kondisi itu. Dengan kata lain manusialah yang menentukan dirinya sendiri”

2. The will to meaning (kehendak untuk hidup bermakna)

Tentang “Kehendak untuk hidup bermakna”, menurut Frankl merupakan motivasi utama yang tedapat pada manusia untuk mencari, menemukan serta memenuhi tujuan dan arti hidupnya. Dalam menerangkan the will to meaning, Frankl berangkat dari kritiknya terhadap the will to pleasure (Sigmund Freud) dan the will to power (Alfred Adler), yang masing-masing menganggap tujuan utama dari motivasi manusia adalah untuk mendapatkan kesenangan/kenikmatan (pleasure) dan kekuasaan (power).

Mengenai kedua pendapat diatas Frankl memberi catatan bahwa kesenangan bukanlah semata-mata tujuan hidup manusia, melainkan “akibat sampingan” (by product) dari sebuah tujuan itu sendiri. Begitu juga dengan kekuasaan yang hanya menjadi sarana untuk mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Karena pada dasarnya pleasure dan power sebenarnya sudah tercakup dalam the will to meaning. Oleh karena itu kekuasaan merupakan sarana untuk mencapai makna hidup dan kesenangan hanyalah efek samping yang dihasilkan dari terpenuhinya makna hidup tersebut.

Frankl memang sengaja menyebut the will to meaning bukan the drive to meaning, karena menurutnya makna dan nilai itu berada di luar diri manusia dan kebebasan manusia-lah yang menentukan apakah ia akan menerimanya atau menolaknya. Makna dan nilai adalah hal-hal yang harus dicapai bukan suatu dorongan.

3. The meaning of life (tentang makna hidup)

Tentang “Makna hidup”, Frankl menganggap bahwa makna hidup itu bersifat unik, spesifik, personal, sehingga masing-masing orang mempunyai makna hidupnya yang khas dan cara penghayatan yang berbeda antara pribadi yang satu dengan yang lainnya. Seorang logoterapis sama sekali tidak memberikan makna hidup tertentu pada klien-kliennya, ia hanya membantu memperluas cakrawala pandangan klien mengenai kemungkinan-kemungkinan menemukan makna dan arti hidup, serta membantu mereka untuk menyadari tanggung jawab dari setiap tujuan hidup mereka. Memilih, menentukan makna hidup sepenuhnya menjadi tanggung jawab klien, dan bukan tanggung jawab terapis.

Frankl juga menerangkan bahwa Logoterapi dapat membimbing manusia dalam melakukan kegiatan yang secara potensial mengandung nilai-nilai yang memungkinkan seseorang menemukan makna hidup, yaitu :

1. Sesuatu yang seyogyanya kita limpahkan dalam kehidupan, maksudnya berkarya serta melakukan tugas hidup sebaik-baiknya. Kegiatan ini biasa disebut sebagai creative values (nilai-nilai kreatif).

2. Sesuatu yang bisa kita peroleh dalam kehidupan, yakni berusaha mengalami dan menghayati setiap nilai yang ada dalam kehidupan itu sendiri, seperti keindahan, kebahagiaan, kebenaran, dan sebagainya. Proses mengalami ini biasa disebut sebagai experiental values (nilai-nilai pengalaman).

3. Menerima berbagai bentuk penderitaan yang tidak mungkin dielakkan lagi, seperti kedukaan, sakit yang tak tersembuhkan lagi, kematian, setelah segala daya upaya telah dilakukan secara maksimal. Sikap tabah terhadap realitas seperti ini biasa disebut sebagai attitude values (nilai-nilai bersikap).

Nilai-nilai diatas kiranya dapat dihadapkan pada para klien oleh seorang Logoterapis, dalam membantu menemukan makna dan tujuan hidup klien yang otentik. Dan terpulang pada klien sendiri untuk memilih, menentukan, dan merealisasikannya.

Sketsa Self-disoder Manusia

Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih menyeluruh tentang Logoterapi, terutama yang berakaitan dengan psikologi klinis, psikoterapi, perlu dipahami beberapa problem eksistensial yang biasa terjadi pada masyarakat kontemporer (yang tentunya berusaha diatasi oleh filsafat Logoterapi), yaitu Existential Frustation (frustasi eksistensial), Existential Vacuum (kehampaan eksistensial), dan Noogenic Neurosis (neurosis noogenik). Ketiganya merupakan istilah-istilah kunci dalam logoterapi, dimana yang satu sama lainnya saling berhubungan, serta merupakan konsep-konsep dasar dalam memahami gangguan kejiwaan dalam kehidupan manusia kontemporer.

1. ”Frustasi eksistensial”.

Frustasi eksistensial muncul ketika dorongan untuk hidup bermakna mengalami hambatan. Gejala-gejala dalam frustasi eksistensial tidak mewujud secara nyata, karena pada umumnya bersifat laten dan terselubung (masked). Perilaku yang menandai frustasi eksistensial biasanya terungkap dalam berbagai usaha untuk memperoleh kompensasi besar melalui penyaluran hasrat untuk berkuasa (the will to power) atau bersenang-senang mencari kenikmatan (the will to pleasure). Di Negara-negara Barat hasrat untuk berkuasa dan bersenang-senang tercermin dalam perilaku yang obsesif untuk mengumpulkan uang (the will to money), untuk bekerja (the will to work), dan pelampiasan hasrat seksual (the will to sex).

Frustasi eksistensial sering ditemukan dalam gejala neurosis. Untuk neurosis jenis ini, logoterapi menandainya dengan istilah “neurosis noogenik” yang berbeda dengan neurosis “psikogenik”. Neurosis noogenik memiliki akarnya tidak dalam dimensi psikologis, tetapi lebih pada dimensi “noological” (dari bahasa Yunani “noos” yang berarti pikiran atau spirit) dari eksistensi manusia. Ini adalah istilah dalam Logoterapi yang merujuk pada sesuatu yang berkaitan dengan sisi spiritual manusia. Namun hendaknya diingat, dalam frame rujukan Logoterapi istilah “spiritual” tidak memiliki konotasi utama pada agama, namun kembali secara khusus pada eksistensi manusia.

2. “Kehampaan eksistensial”.

Kehampaan eksistensil muncul dalam perilaku yang menunjukkan perasaan serba hampa, gersang, dan kebosanan yang berlebihan. Menurut Frankl, faktor-faktor yang menyebabkan meluasnya kehampaan eksistensial adalah dianutnya ideologi-edeologi tentang manusia yang bercorak reduksionistik, pan-determinisme, serta teori-teori homeostatis. Wawasan-wawasan tersebut menganggap eksistensi manusia sebagai sistem yang tertutup, atau memandang manusia dari sudut pandang kemanusiaan yang sub-human, dan dengan demikian mengembangkan berbagai model manusia yang berpola “rat-model”, “machine model”, “computer model”, dan sebagainya. Wawasan-wawasan ini mengingkari karaktersitik khas manusia seperti: kemampuan mentransendensikan diri, kemampuan mengambil jarak dengan lingkungan dan diri sendiri, kebebasan berkehendak, rasa tannggung jawab, dan spiritualitas.

3. “Neurosis noogenik”.

Neurosis noogenik tidak muncul dari arahan konflik antara Id-Ego-Superego, konflik instingtif, trauma psikis, dan berbagai kompleks psikis lainnya, akan tetapi muncul dari problematika spiritual. Neurosis noogenik tidak mengakar pada dimensi psikis manusia, melainkan bersumber pada dimensi spiritual, sehingga dengan demikian neurosis ini tidak bersifat psikogen, tetapi spiritual/noogenik. Frustasi eksistensial dan kehampaan eksistensial yang menyebabkan terjadinya neurosis jenis ini.

Menurut Frankl, dalam kasus neurosis noogenik, terapi yang cocok dan memadai bukanlah psikoterapi melainkan Logoterapi, yakni sebuah terapi yang berani memasuki dimensi spiritual dari eksistensi manusia. Kemudian sebagai out-put dari kesuksesan proses Logoterapi yaitu terwujudnya kepribadian yang sehat atau dalam istilah Frankl “pribadi yang mengatasi diri”, adalah pribadi yang mampu melihat kehidupan dunia tidak hanya dalam kerangka pengejaran akan kekuasaan dan kenikmatan tetapi lebih berhubungan dengan kemampuan untuk hidup bermakna dalam berbagai kondisi, baik senang maupun susah. Tujuan hidup bukanlah hanya untuk mencapai kondisi keseimbangan (equilibrium) yang serba tanpa ketegangan, melainkan senantiasa berada dalam semacam tegangan yang produktif antara apa yang kita hayati sekarang dengan prediksi dan pengandaian tentang apa yang kita hayati pada masa mendatang.

Logoterapi juga mempunyai istilah paradoxical intention atau niat yang berkebalikan (perlawanan terhadap niat). Prosedur atau terapi ini adalah upaya untuk membalikkan sikap. Misalnya, rasa takut digantikan dengan niat lain. Seperti orang yang susah tidur: rasa takut tidak dapat tidur, yang memicu keinginan berlebihan untuk tidur, malah membuat orang itu tidak bisa tidur. Akan tetapi, seseorang yang tidak bisa tidur karena sakit payah atau masalah berat itu hal lain. Jadi untuk mengatasi ketakutan ini, Frankl menganjurkan untuk mencoba tidak tidur, tetapi melakukan yang sebaliknya. Artinya, berusaha sedapat mungkin untuk tetap bangun. Dengan kata lain, keinginan sangat besar untuk tidur, yang muncul akibat rasa cemas yang diantisipasi bahwa ia tidak bisa tidur, harus diganti dengan keinginan untuk tidak tidur. Akibatnya, ia akan segera tidur.

Kodrat Pribadi yang Mengatasi Diri

Out-put dari kesuksesan proses Logoterapi yaitu terwujudnya kepribadian yang sehat atau dalam istilah Frankl “pribadi yang mengatasi diri”, adalah pribadi yang mampu melihat kehidupan dunia tidak hanya dalam kerangka pengejaran akan kekuasaan dan kenikmatan tetapi lebih berhubungan dengan kemampuan untuk hidup bermakna dalam berbagai kondisi, baik senang maupun susah. Frankl percaya bahwa mengejar tujuan semata-mata dalam diri adalah merusak diri. Ia juga menyatakan bahwa semakin banyak kita dengan sengaja berjuang untuk kesenangan maka mungkin semakin kurang kita menemukannya. Frankl percaya bahwa pandangannya sesuai dengan pandangan Maslow bahwa cara yang paling baik untuk mencapai aktualisasi diri ialah melalui komitmen terhadap pekerjaan, terhadap sesuatu di luar diri. Menurut Frankl orang-orang yang memiliki kepribadian sehat adalah sebagai berikut:

o Mereka bebas memilih langkah tindakan mereka sendiri

o Mereka bertanggungjawab terhadap tingkah laku hidup dan sikap yang mereka anut

o Mereka tidak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan di luar diri mereka

o Mereka telah menemukan arti dalam kehidupan yang cocok dengan mereka.

o Mereka secara sadar mengontrol hidup mereka

o Mereka mampu mengungkapkan nilai-nilai daya cipta, nilai-nilai pengalaman dan nilai-nilai sikap

o Mereka telah mengatasi perhatian terhadap diri sendiri.

Sifat lain dari orang yang mengatasi diri ialah komitmen terhadap pekerjaan. Salah satu cara untuk memperoleh arti ialah dengan mengungkapkan nilai-nilai daya cipta dan nilai-nilai ini dapat diungkapkan dengan sangat baik melalui pekerjaan atau tugas seseorang. Segi yang penting dari pekerjaan bukan isi dari pekerjaan tersebut, melainkan cara bagaimana kita melakukannya.

Sifat lain dari orang-orang yang mengatasi diri ialah kemampuan mereka untuk memberi dan menerima cinta. Cinta adalah tujuan pokok manusia; keselamatan kita adalah melalui cinta dan dalam cinta. Dengan cinta kita, kita dapat membuat orang yang dicintai sanggup merealisasikan potensi-potensi yang belum dimanfaatkan. Dengan menyadarkan mereka tentang potensi mereka untuk menjadi apa.